Minggu, 19 Juni 2011

Strategi Membina Akhlaq


Doa Rasulullah: "Dengan nama Allah aku berserah diri kepada Allah. Wahai Tuhanku mohon dipeliharakan olehMu akan tersesat atau menyesatkan atau tergelincir atau menggelincirkan atau dianiaya atau menganiaya atau berlaku semberono atau diperlakukan dengan semberono." (H.R Abu Dawud,Tarmizi, Nasai dan Ibnu Majah dari Umu Salamah).
Bila kita telusuri dari seluruh perjalanan dakwah Rasulullah SAW selama 23 tahun maka pada intinya strategi beliau ada tiga, yaitu tugas tilawah, tazkiyah dan ta‘limah tiga strategi yang ditempuh Rasulullah SAW dan para Nabi dan Rasul sebelumnya.
Tilawah adalah membacakan tanda-tanda kebesaran Allah SWT yang ada di alam semesta termasuk yang melekat pada diri manusia sendiri. Tilawah adalah membaca, merenung, memikirkan akan tanda-tanda kebesaran Allah SWT melalui segala ciptanya yang pada akhirnya akan dapat membunuh keimanan dan keyakinan yang membaca pengakuan yang tulus, bahwa tiada Tuhan selain Allah. Dengan membaca tanda-tanda kebesaran Allah diharapkan agar manusia menyadari keberadaan dirinya, asal-usul dan apa tujuan hidupnya dan menyadari manusia adalah makhluk Allah yang sangat lemah, tiada punya daya dan kekuatan apa-apa, bahkan hidupnya selalu bergantung pada kasih sayang dan pertolongan Allah SWT.
Penyadaran diri sendiri perlu ditanamkan kepada semua manusia, sebab manusia banyak yang lupa diri dan arogan, ia lupa, bahwa ia tidak mempunyai apa-apa, termasuk dirinya adalah milik Allah SWT. Kekuasaan, pangkat, jabatan, kedudukan, harta kekayaan dan lain-lain adalah milik Allah. Oleh karena itu, kita akan tetap mengakui sebagai hamba Allah dalam posisi apapun, sebagai pejabat, tokoh, pemimpin, ilmuan, cendikiawan dan apa saja, kita tidak bergeser dari kedudukan sebagai hamba Allah yang lemah.
Setelah langkah pertama ditempuh dengan jalan mengenalkan tanda-tanda kebesaranNya dan mengajak manusia beriman kepada Allah serta menyadarkan keberadaannya sebagai hamba Allah, maka langkah kedua adalah membersihkan manusia dari berbagai kotoran, terutama kotoran pikiran dan hati manusia agar dapat memandang dengan jernih, yang menyumbat pikiran dan rohaninya, inilah yang disebut tazkiyah.
Sayyid Qutub dalam Tafsir Dzilalil Quran melukiskan sebagai berikut: "tazkiyah adalah membersihkan jiwa dan perasaan, mensucikan amalan dan pandangan hidup, membersihkan kehidupan dan hubungan seks dan membersihkan kehidupan masyarakat".
Dalam rangka tazkiyah, sasaran utama yang diberlakukan, membersihkan manusia dari apa saja yang mengotori hati dan pikiran, memberantas kemusyrikan, kekufuran, kemunafikan, hasud, tamak, istighna, mengikis bentuk bentuk akhlak tercela, semisal bakhil, boros, sombong, khianat, riya, sum’ah dan lain-lain. Tugas Rasulullah SAW membersihkan melalui pendidikan rohani yang intensif, baik berupa ritual ibadah maupun sosial dengan memadukan ibadah ritual dan ibadah sosial akan menghasilkan pribadi luhur yang berakhlakul karimah.
Langkah ketiga ta’limah/pengajaran yang merupakan ajaran melalui pembicaraan dan perbuatan atau disebut hadits atau as-sunnah. Dengan berpedoman pada kitabullah para Nabi dan Rasul mengajar dan mendidik umatnya agar benar-benar menjadi seorang mukmin dan muslim kaffah serta memiliki akhlakul karimah yang menjadi tujuan utama para Nabi dan Rasul. Bila semua manusia memiliki akhlak yang luhur, dengan sendirinya akan terciptalah suatu masyarakat yang berperadaban tinggi, masyarakat yang adil dan makmur yang diridhoi oleh Allah SWT, masyarakat yang dihuni orang orang sholeh, rajin dan ikhlas beribadah kepada Allah SWT.
Mengapa Akhlak Menjadi Prioritas Utama
Prioritas dari seluruh risalah yang dibawa Rasulullah SAW adalah untuk memperbaiki akhlak manusia, karena tinggi dan rendahnya akhlak manusia, karena tidak sama, ada yang mulia dan ada yang hina. Sifat dan watak kepribadiannya berbeda-beda antara satu dengan lainnya, ada yang bersifat penyayang dan ada yang kejam, ada yang kasar, ada yang lemah lembut. Sifat dan watak manusia dikumpulkan menjadi empat macam antara lain:
Thabiat Rububiyah, thabiat Ketuhanan, suatu tabiat yang cendrung ke arah perbuatan yang sesuai kehendak dan kerelaan Tuhan, sehingga ingin selalu berbuat baik serta mendapatkan ridho dari Allah SWT. Thabiat Syaithoniyah, tabiat syetan yang selalu ingin menggoda dan menjerumuskan manusia kepada kesesatan dan kemungkaran.
Thabiat Sabu‘iyah, tabiat binatang buas yang mempunyai kecenderungan ke arah perbuatan-perbuatan melanggar dan merampas hak orang lain, ingin memangsa, menzolimi dan sebagainya. Thabiat bahimiyah, tabiat binatang ternak yang hanya mementingkan nafsu makan, minum, tidur dan sebagainya. Manusia yang bertabiat Bahimiyah ini tidak lagi menghiraukan urusan agama dan ibadah ataupun pengetahuan, seluruh waktu hanyalah dihabiskan unntuk mencari harta kekayaan untuk kepuasan nafsunya, bahkan hartanya menjadi ukuran segala-galanya. Dalam hal ini agama Islam-lah, yang akan berperan membimbing manusia agar dapat menyalurkan tabiatnya menurut tuntunan hidup yang baik, sehingga tidak terjerumus ke arah kejahatan dan kemungkaran.
Untuk itu maka ajaran akhlakul karimah akan membimbing manusia sebaik-baiknya supaya memiliki jiwa yang bersih dan menilai yang kuat, sehingga dapat menempatkan diri sebagai makhluk yang mulia.

Pengertian Akhlaq


Akar kata ‘AKHLAQ’ dalam bahasa ‘Arab adalah ‘kholaqo’ (masdar tsulastsy) yang merupakan akar pula kata-kata ‘kholiq’, ‘kholq’ dan ‘makhluq’. ‘kholaqo’ sendiri berarti menciptakan. Ketiga buah kata ‘Kholiq’, ‘Akhlaq’ dan ‘makhluq’ murapakan kata yang saling berhubungan erat. Dan ini bisa kita sama-sama rujuk kepada Al-Qur’an, surah Ar-Rahmaan ayat 1-4: “Ar-Rahmaan (Allah, Al-Kholiq). (Yang) Mengajarkan Al-Qur’an. (Yang) Menciptakan (kholaqo) Manusia (Al-Insaan, Al-Makhluuq). (Yang) mengajarkannya Al-Bayaan.” Insya’ Allah, dengan bashirah (daya pandang) yang senantiasa dituntun oleh fitrah yang suci, kita akan memahami hakikat ayat ini bahwa: Allah adalah Al-Khaliq yang telah menciptakan makhluq-Nya (manusia) dan membekalinya, menuntunnya, mengajarkan melalui utusannya Al-Qur’an yang merupakan penjelas bagi segala sesuatu (Al-Bayaan). Dengan berbekal dan berpedoman kepada Al-Qur’an manusia menjadi terbimbing dan terarah hidupnya. Jadi akhlaq didalam Islam bukanlah semata-mata sopansantun, etika, atau moral dan hal ini bisa dijelaskan sebagai berikut:
1. Islam selalu menyertai definisi dari sisi syari’ah disamping definisi secara bahasa. Ketika Islam (baca: Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW) memperkenalkan sebuah kata atau menggunakan kata yang sudah lazim digunakan manusia, maka kita harus memahami dalam konteks apakah hal itu digunakan? Karena kata-kata yang digunakan Al-Qur’an dan As-Sunnah seringkali memiliki arti sendiri/khas yang tidak selalu sama dengan definisi umum (baca: bahasa).
Adalah keliru jika kita sebagai seorang muslim hanya menggunakan definisi secara bahasa saja. Misalnya kata sholat yang dalam pengertian bahasa adalah do’a, maka dengan berpedoman pada pengertian sholat sebagai do’a akan kacau balaulah sholat kaum muslimin karena masing-masing merasa bebas untuk mengekspresikan do’anya. Namun ketika RasululLah SAW menyatakan ‘Sholluw kama roaytumuniy usholliy’ (sholatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku sholat) dan RasululLaah SAW mempraktekkan shalat, maka disitulah definisi syar’i-nya diberikan, yaitu ‘gerakan-gerakan yang diawali dengan takbiiratu ‘l-Ihraam dan diakhiri dengan salam, dikerjakan dengan syarat dan rukun tertentu.” Demikian pula kata ‘Al-Jaahiliyyah’ yang diambil dari bahasa ‘arab (akar katanya ‘Jahala’), namun tidak pernah digunakan oleh orang ‘arab sendiri sampai Al-Qur’an menggunakannya. Karena itu definisi secara bahasanya yaitu bodoh tidak ber- ilmu’ haruslah diiringi arti secara Al-Qur’an sebagai penentu akan esensi kata tersebut (Ma’na Al-Jaahiliyyah mudah-mudahan sudah pernah dikupas…). ‘Akhlaq’-pun tidak terlepas dari definisi secara syar’i. Perhatikan hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad berikut ini: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia (makaarima ‘l-Akhlaaq).”
Disitu digunakan kata akhlaq-nya menggunakan Alif-lam yang sama dengan ‘the’ dalam bahasa Inggeris, jadi sudah spesifik apa yang dimaksud dengan Al-Akhlaaq disitu, dan tentunya bukanlah semata-mata etika, sopansantun atau moral. Ibunda ‘Aisyah ra menerangkan: “Adalah akhlaq beliau (RasululLaah SAW) itu Al-Qur’an.” Al-Qur’an telah menegaskan pula bahwa:”Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar berakhlaq mulia (khuluqin ‘adhiim).” (QS. Al-Qolam:4). Dari hadits-hadits dan ayat diatas dapat dipahami bahwa Al-Akhlaaq, sebagaimana Islam itu sendiri, bersifat menyeluruh dan universal. Ia merupakan tata nilai yang memang diset-up oleh Al-Khaliq bagi manusia untuk kemudahannya dan kesejahteraannya dalam menjalankan missi kekhalifahannya dimuka bumi ini. Ia merupakan tata nilai yang selalu selaras dengan fitrah kemanusiaannya dan sudah pasti sinkron/nyambung dengan Al-Qur’an dan Sunnah RasuluLaah SAW.
2. Kemudian, Allah SWT tidak membiarkan kita untuk menginterpretasikan tata nilai tersebut semaunya, berstandard seenaknya, tapi juga memberikan kepada kita RasululLaah SAW yang menjadi uswah hasanah. RasuluLaah SAW merupakan insan kamil, manusia paripurna, yang tidak ada satupun sisi-sisi kemanusiaan yang tidak disentuhnya selama hidupnya. Ia adalah ciptaan terbaik yang kepadanya kita merujuk akan akhlaq yang mulia. Allah SWT berfirman: “Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar memiliki akhlaq yang mulia.” (QS. Al-Qolam:4) “Sesungguhnya telah ada dalam diri RasululLaah suri teladan yang baik bagi kalian, yaitu orang-orang mengharapkan (keridhoan) Allah dan (kebahagiaan) hari akhirat, serta banyak mengingat Allah.” (QS. Al-Ahzab:21) Bagaimana kehidupan sebagai pribadinya adalah rujukan kita. Cara makan dan minumnya adalah standard akhlaq kita. Tidur dan berjalannya adalah juga standard kita. Tangisnya, senyumnya, berfikir dan merenungnya, bicaranya dan diamnya adalah juga merupakan tangis, senyum, berfikir dan merenungnya, bicara dan diamnya kita. Kehidupannya sebagai kepala rumah tangga, anggota masyarakat, kepala negara, da’i, jenderal perang adalah rujukan kehidupan kita.
Demikianlah, Rasulullah SAW memang telah menjadi ukuran resmi yang Allah SWT turunkan bagi kita, dan sampai kapanpun ini tidak akn pernah berubah. Contoh-contoh akhlaq beliau: RasululLaah SAW bersabda sehubungan dengan akhlaq hati dan lisan: “Iman seorang hamba tidaklah lurus sehingga lurus hatinya. Dan tidak akan lurus hati seorang hamba sehingga lurus lisannya.” (H.R. Ahmad) Sehubungan dengan hubungan sosial, beliau bersabda: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka muliakanlah tetangganya, dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka muliakanlah tetamunya, dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka berkatalah yang baik atau diam.” (H.R. Bukhari dan Muslim) Dan masih banyak lagi ibrah lainnya dari kehidupan RasululLaah SAW, yang tidak akan mungkin cukup kolom ini mengungkapkannya, yang menunjukkan keagungan dan kemuliaan akhlaq beliau, baik akhlaq terhadap diri sendiri, terhadap sesama manusia, terhadap makhluq lainnya dan tentunya akhlaq terhadap Khaliqnya.
3. Jadi akhlaq Islam itu sudah ada formatnya dan juga mapan, berlainan dengan ‘akhlaq’, moral, etika dalam sistem budaya buatan manusia diluar Islam yang tidak pernah memiliki standar baku dan senantiasa berubah bergantung pada main stream budaya yang ada pada waktu itu. Ukuran kebaikkan dan kesopanan begitu relatif dan variatif, bergantung kepada tempat dan waktu. Dahulu dua orang yang (ma’af) berpelukan dan berciuman di depan umum akan dianggap hal yang sangat memalukan dan tidak patut, namun sekarang hal itu dianggap biasa dan patut-patut saja. Seseorang yang memegang minuman keras dengan tangan kiri sambil berjalan modar-mandir dan tertawa-tawa adalah hal sangat bisa diterima oleh umum dimanapun, namun tidak oleh Islam, dan Islam tidak mentolerirnya sejak RasululLaah SAW ada sampai sekarang. Imam Al-Ghazaly menyatakan bahwa akhlaq adalah perbuatan seseorang yang dilakukan tanpa berfikir lagi, yaitu sesuatu yang sudah menjadi kebiasaanya sehingga dikerjakan dengan spontan. Misalnya orang yang senantiasa makan dan minum dengan tangan kirinya, maka dimanapun, dan dalam keadaan bagaimanapun ia akan spontan makan dan minum menggunakan tangan kirinya. Orang yang tidak terbiasa mengucapkan salam kepada sesama muslim dan terbiasa mengucapkan ‘hello’ ‘goodbye’ juga akan mengucapakan ‘hello’ ‘goodbye’ ketika bertemu seseorang. Oleh karena itu kita harus membiasakan dan menshibghoh (mencelup) diri dengan akhlaq Islam, sehingga mentradisi dalam jiwa dan kehidupan kita dan dimanapun serta kapanpun dengan spontan terlihat bahwa akhlaq yang Islami merupakan akhlaq kita.
Allah SWT berfirman: “Shibghoh Allah, dan siapakah yang lebih baik shibghohnya dari Allah, dan kepada-Nyalah kami mengabdikan diri.” (QS: Al-Baqarah:138).
4. Terakhir, Akhlaq Islam bukanlah semata-mata anjuran menuju perbaikan nilai kehidupan manusia didunia, tapi ia memberikan dampak bagi kehidupannya di akhirat. Seseorang yang berakhlaq baik tentunya akan mendapat ganjaran pahala, dan sebaliknya orang yang berakhlaq buruk pasti ia akan merasakan adzab Allah yang sangat pedih. Seorang yang senantiasa mengucapkan kata-kata yang baik, misalnya, tentunya baik buat dirinya dan orang lain didunia ini dan juga menadapatkan ganjaran pahala yang akan menambah berat timbangan amal sholehnya di hari akhirat kelak. Dan seorang pengumpat, pencaci, penghasud tentunya akan memberikan akibat buruk bagi dirinya dan orang lain didunia dan melicinkan jalannya untuk menikmati siksa Allah di neraka kelak. Inilah diantara ciri khas Akhlaq Islam, yang pada akhirnya ia membuat setiap muslim terpaksa atau tidak untuk menshibghoh dirinya dengan tata nilai yang telah Allah berikan kepada dia dan dengan gamblang dan lengkap telah pula diimplementasikan oleh Muhammad SAW, kekasih-Nya, manusia pilihan-Nya. Wa ‘l-Laahu a’lam bi ‘sh-Showaab, Wa ‘s-Salaamu ‘alaikum wa rahmatu ‘l-Laahi wa barakaatuh,